top of page
Search

Data Adalah Nyawa Kedua: Menjaga Privasi Pasien di Era Digitalisasi Rumah Sakit

  • Writer: mohnovil22134
    mohnovil22134
  • May 21
  • 4 min read


Bayangkan jika rekam medis seseorang bisa diakses bebas, diperjualbelikan, atau digunakan untuk memanipulasi identitas. Informasi yang seharusnya hanya diketahui oleh dokter dan pasien, justru menjadi komoditas. Di tengah derasnya arus digitalisasi layanan kesehatan, rumah sakit kini bukan hanya tempat penyembuhan, tetapi juga benteng pertahanan data pribadi yang amat sensitif.


Seiring berlakunya Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), rumah sakit di Indonesia dituntut untuk tidak hanya merawat tubuh pasien, tapi juga melindungi nyawa kedua mereka—yakni data.


Era Digital dan Kerapuhan Informasi

Rumah sakit modern hari ini tak lepas dari teknologi: rekam medis elektronik, sistem antrean online, konsultasi digital, hingga pembayaran cashless. Semua kemudahan ini berpijak pada satu fondasi: data pribadi. Namun, di balik layar yang terlihat rapi, tersimpan risiko yang sering diremehkan—siapa saja yang bisa melihat data itu? Dan sejauh mana ia aman?

Ketika informasi medis bocor, dampaknya bukan hanya kehilangan rahasia. Bisa jadi itu adalah undangan bagi penipu, pemeras, atau bahkan perusahaan asuransi yang menolak klaim karena tahu kondisi kita lebih dulu dari kita sendiri.


Bukan Sekadar Sistem, Tapi Soal Kesadaran

Sayangnya, perlindungan data belum menjadi budaya. Di banyak rumah sakit, sistem informasi dibuat hanya untuk efisiensi, bukan untuk keamanan. Akibatnya:


  • Dokter dan staf mungkin menyimpan data pasien di flashdisk pribadi.

  • Password sistem hanya "123456".

  • Akses ke rekam medis bisa dibuka siapa saja yang kebetulan tahu ID pasien.


Tantangan perlindungan data tak selalu berbentuk peretas bertopeng hitam, kadang justru datang dari kealpaan sendiri.


Data Pasien: Lebih dari Sekadar Angka

Dalam dunia kesehatan, satu file bisa berarti kehidupan. Sebuah rekam medis bukan hanya angka tekanan darah dan hasil lab—ia adalah riwayat kepercayaan, pilihan hidup, luka, dan harapan seseorang. Maka, memperlakukannya dengan sembarangan adalah pengkhianatan terhadap misi rumah sakit sendiri.


Merancang Sistem yang Tak Sekadar Canggih, Tapi Manusiawi

UU PDP memang hadir sebagai pagar hukum. Tapi pagar saja tak cukup. Rumah sakit perlu pendekatan yang lebih holistik:


  • Edukasikan, Jangan Hanya Otomatiskan: Teknologi hanya sekuat pengguna di baliknya. Edukasi staf mengenai etika digital harus menjadi agenda rutin.

  • Desain yang Empati terhadap Data: Buat sistem yang tak hanya cepat, tapi juga sadar risiko. Seperti, log aktivitas pengguna dan sistem notifikasi akses mencurigakan.

  • Data Minimalisme: Ambil data yang dibutuhkan saja. Tak semua hal harus diketahui rumah sakit—hanya yang relevan untuk merawat.

  • Skenario Terburuk Bukan Fiksi: Simulasikan kebocoran data dan latih responsnya. Rumah sakit harus punya "tim tanggap privasi" layaknya tim tanggap darurat.


Risiko Nyata, Tindakan Nyata

Kebocoran data bukan cerita fiksi. Beberapa rumah sakit di dunia pernah menjadi korban ransomware, di mana data pasien disandera dan tak bisa diakses kecuali membayar tebusan. Di Indonesia, potensi semacam ini bukan sekadar mungkin, tapi nyata.


Risikonya?

  • Pasien kabur ke rumah sakit lain.

  • Mitra menarik diri.

  • Sanksi hukum yang mahal.

  • Nama baik rusak selamanya.


Menutup Luka Digital dengan Etika dan Teknologi

Pada akhirnya, rumah sakit tak hanya menyembuhkan tubuh, tetapi juga menjaga martabat manusia. Dan di zaman ini, martabat itu sering kali tercermin dalam bagaimana data seseorang dihormati.


Menjaga data pribadi pasien bukanlah urusan satu divisi IT, tapi misi kolektif dari seluruh tenaga medis, manajemen, hingga cleaning service. Karena di balik setiap baris data, ada kehidupan yang dipercayakan untuk dijaga.


Di era digital, perlindungan data bukan pilihan. Ia adalah sumpah profesi yang diperluas ke dunia maya.


Langkah Pencegahan: Dari Slogan Menjadi Aksi

Pencegahan kebocoran data bukan hanya soal membeli software mahal atau membuat brosur tentang bahaya peretasan. Ia harus menjadi kebiasaan kolektif yang dibangun dari strategi yang nyata dan menyentuh semua lapisan rumah sakit. Berikut beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan:


Bangun Literasi Privasi untuk Semua Staf

Mulailah dari yang paling sederhana—pemahaman. Sering kali, kesalahan data berasal dari ketidaktahuan: mengirimkan hasil lab via WhatsApp, menyimpan data di laptop pribadi, atau meninggalkan komputer menyala tanpa pengaman.


Adakan pelatihan berkala berbasis studi kasus nyata. Gunakan bahasa sederhana, bukan jargon teknis, agar semua lini dari perawat hingga petugas keamanan memahami perannya.


Audit Digital: Cek Titik Bocor Sebelum Terjadi

Banyak rumah sakit percaya sistem mereka aman, sampai suatu hari semua data disandera. Audit digital bukan untuk mencari kambing hitam, tapi untuk mencegah titik rawan menjadi lubang besar.


Gunakan jasa pihak ketiga yang independen untuk memeriksa kerentanan sistem. Lakukan setidaknya sekali dalam setahun.


Batasi Akses Seperti Anda Melindungi Kamar Operasi

Jika semua orang bisa mengakses semua data, maka tidak ada yang benar-benar aman. Seperti ruang operasi, tidak semua staf boleh masuk tanpa alasan.


Terapkan prinsip “least privilege”, yakni berikan akses seminimal mungkin sesuai kebutuhan pekerjaan. Pantau siapa mengakses apa dan kapan.


Enkripsi dan Firewall: Bukan Tambahan, Tapi Standar

Data yang tidak terenkripsi ibarat surat rahasia yang ditulis di papan reklame. Sekali terbuka, tidak bisa ditutup kembali.


Pastikan semua komunikasi data dienkripsi, baik saat transit maupun saat disimpan. Gunakan firewall yang diperbarui secara rutin dan deteksi intrusi otomatis.


Buat Protokol Darurat Seperti Penanganan Gawat Darurat

Apa yang dilakukan rumah sakit ketika server diretas jam 2 pagi? Apakah ada yang tahu siapa yang harus dihubungi, sistem mana yang harus dimatikan, atau bagaimana memberitahu pasien?.


Susun Rencana Tanggap Insiden Data yang melibatkan tim IT, Humas, dan hukum. Uji skenario darurat secara berkala agar semua siap saat krisis datang.


Hapus Data Lama dengan Hormat

Data lama yang menumpuk dan tak lagi digunakan bisa jadi ladang emas bagi penjahat siber. Seperti obat kadaluarsa, data juga harus dibuang dengan cara yang aman.


Buat kebijakan retensi data yang jelas—berapa lama disimpan, kapan dihapus, dan dengan metode apa (bukan sekadar delete biasa).


Akhir Kata: Kesehatan Digital Dimulai dari Rasa Hormat

Jika rumah sakit ingin dipercaya, maka mereka harus menunjukkan bahwa mereka tidak hanya peduli pada tubuh pasien, tetapi juga pada identitas digitalnya. Data bukan sekadar informasi—ia adalah bagian dari manusia itu sendiri.


Karena itu, perlindungan data bukan proyek IT, tapi nilai kemanusiaan. Dan seperti halnya dalam dunia medis, pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan. Jika kamu ingin artikel ini dijadikan PDF, slide presentasi, atau versi ringkas untuk media sosial, aku bisa bantu juga.

 
 
 

Comments


AKU NOVIL

Blog ini adalah hasil dari perjalanan belajar dan eksplorasi, semoga bisa menjadi sumber informasi yang bermanfaat dan inspiratif bagi semua pembaca.

UNESA (Universitas Negeri Surabaya)_edit
  • LinkedIn
  • Instagram
  • TikTok
  • Youtube
bottom of page